Kerasnya kehidupan…


SAYA merantau ke Provinsi Riau sejak tahun 1999. Awal ceritanya adalah sejak lulus kuliah di Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1998 tepatnya pada bulan September saya sempat mengalami menjadi Pejabat (Pengangguran Jawa Barat) sekitar 6 bulanan. Hal itu dikarenakan pada saat kelulusan bertepatan dengan krisis moneter, sehingga untuk mencari pekerjaan tuh sulit banget. Pada saat itu pemerintahan Presiden Soeharto berhasil dilengserkan oleh tekanan arus bawah. Efek dari itu semua membuat dunia usia semakin lesu, dan bagi generasi muda seperti saya semakin kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan cocok sesuai dengan keahlian yang saya miliki.

Sebelum saya mendapatkan pekerjaan di Riau, saya sempat “menggelandang” di Jakarta menjual semacam kartu diskon untuk makan di resto ternama. Saya sempat menjual kartu ini hingga ke perumahan elit di Bumi Serpong Damai dan perumahan-perumahan lainnya. Hingga akhirnya dari pengalaman itu menambah pengetahuan bagi saya akan seluk beluk kota Jakarta dan sekitarnya pada saat itu. Dan saat itu mata saya pun baru terbuka bahwa ternyata ada perumahan sistem cluster dimana untuk masuk ke dalamnya membutuhkan prosedur tertentu (seperti yang terjadi di film-film barat yang sering saya tonton dimana perumahannya tanpa pagar).

Setelah malang melintang berusaha untuk menjual kartu yang ternyata susah sekali untuk laku, saya mendapat tawaran untuk bekerja di salah satu perusahaan pemegang HPHTI di bumi Lancang Kuning. Tawaran tersebut datang dari almamater saya. Sebenarnya pada awalnya bukan saya yang diterima untuk bekerja di perusahaan ini, tapi 3 orang teman kuliah saya karena informasi itu datangnya pada diri saya sudah terlambat. Berhubung salah satu teman saya yang diterima tersebut dilarang oleh keluarganya untuk bekerja di luar Jawa, akhirnya saya ditawari oleh almamater saya untuk menggantikan posisi beliau bekerja di perusahaan yang dipimpinnya.

Pertama kali bekerja banyak sekali suka dan duka yang saya alami. Oleh perusahaan saya langsung ditempatkan di lokasi di sekitar Simpang Batang Kabupaten Rokan Hilir. Baru tiba di lokasi saya disuguhi kebakaran hutan tanaman Akasia, dimana saya ikut diterjunkan untuk memadamkan api yang membakar areal hutan tempat saya bekerja tersebut. Sempat juga terfikir untuk balik lagi ke Jawa, karena sempat saya merenung: “koq begini ya bekerja tuh… belum apa-apa tidur di hutan, madamin api lagi…”. Tapi akhirnya dengan tekad yang kuat saya coba untuk bertahan hingga akhirnya setelah “berjuang” 3 tahun di hutan, saya dipanggil untuk “ngepos” di Kantor Pekanbaru.

Dari pengalaman memadamkan api ini saya jadi sedikit tahu tentang karakteristik lahan gambut, dimana untuk mencari sumber air untuk memadamkan api bisa didapatkan di manapun. Kami saat itu tinggal membuat lubang di sembarang areal baik dengan menggunakan tangan ataupun dengan menggunakan alat-alat lainnya. Dan lubang yang dibuat ini akan terisi oleh air gambut yang berwarna kecoklatan seperti teh dan bisa digunakan untuk memadamkan api tinggal dihubungkan dengan mesin Robin air yang kami bawa.

Selanjutnya di Pekanbaru, tugas saya lebih banyak ke arah mengurus legalitas perusahaan, dimana untuk keluarnya kayu dari tempat usaha memerlukan pengurusan dokumen kayu dan legalitas lainnya. Awal mula dipindahkan saya rasakan cukup menderita, dimana kebijakan perusahaan bahwa orang lokasi yang ditempatkan di Pekanbaru akan kehilangan tunjangan lokasi/konsumsi. Jadi saat itu dengan gaji saya yang kecil dan ditarik ke kota besar seperti Pekanbaru, saya harus kehilangan tunjangan lokasi/konsumsi saya dengan jumlah yang menurut saya saat itu cukup lumayan. Ditambah lagi ketika tiba di kota otomatis saya musti menyisihkan uang gaji saya untuk transport dan tempat berteduh.

Mengetahui hal ini ditambah lagi saya masih ada kewajiban atas diri adik saya yang kuliah di Bandung, maka saya coba melakukan penawaran (lobby) ke atasan saya agar paling tidak saya diberikan tempat berteduh selama saya ditugaskan di Pekanbaru. Mengingat saya pada saat itu dipandang belum menjadi staff, akhirnya atas kebijakan beliau saya diberikan kesempatan untuk menempati gudang arsip perusahaan sekaligus menjaga gudang tersebut selama saya bekerja di Pekanbaru. Atas hal ini saya sedikit bisa “bernafas” karena tidak keluar uang untuk bayar kost di kota Pekanbaru dan hanya keluar uang untuk transport dari gudang ke Kantor Direksi tempat saya bekerja.

Setelah hampir selama 2 tahun saya hidup dan tinggal “menjaga” gudang perusahaan, tiba saatnya bagi perusahaan untuk menjual aset gudang tersebut kepada pihak lain. Saya diharapkan untuk keluar dari gudang dan mencari tempat berteduh yang lain. Alhamdulillah karena pada saat itu adik saya sudah selesai kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan pertambangan di tanah Jawa, maka saya bisa sedikit punya uang untuk mengontrak rumah kecil di daerah Damai Langgeng.

Ada pengalaman menarik dari kontrak rumah di daerah Damai Langgeng ini. Pada suatu waktu terjadi hujan lebat sehingga mengakibatkan banjir yang terjadi di sebagian perumahan Damai Langgeng. Salah satu rumah yang terkena banjir adalah rumah yang saya tempati. Dari terkena banjir ini lah ada barang saya yang rusak selain HP yang terendam air karena HP saya taruh di lantai dan banjir menyerang pada malam hari ketika saya sedang enak-enak tidur. Juga kasur yang saya bawa dari camp pun ikut terendam air banjir. Sejak saat itu saya mencoba untuk mencari kamar kost yang bebas banjir dan Alhamdulillah mendapatkan kamar kost tersebut di daerah Kavling yang dekat dengan kantor tempat saya bekerja.

Tidak berapa lama kemudian ketika bisnis kayu sudah tidak lagi menjanjikan, saya terkena PHK oleh perusahaan tempat saya bekerja dan mendapat uang tolak yang bagi saya pada saat itu berjumlah sangat besar. Akhirnya dengan uang tolak tersebut saya bisa membayar “uang belanja” untuk pernikahan saya dengan salah satu Puteri Riau. Dari uang tolak itu pun saya bisa mendatangkan orang tua saya untuk ikut menyaksikan pernikahan saya yang diselenggarakan di Sungai Pakning Kabupaten Bengkalis. Dan uang itupun masih bersisa untuk kontrak rumah di Pekanbaru selama 1 tahun. Syukur Alhamdulillah.

Dari pernikahan ini kami dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan rupawan. Dan tahun ini (2012) anak saya tersebut sudah waktunya untuk masuk ke jenjang Sekolah Dasar.

Dari pengalaman yang saya alami, saya sangat percaya bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah SWT dan Allah SWT Maha Tahu dan Maha Pengasih bagi hamba-Nya yang pantang menyerah. Hal ini saya alami sendiri. Ketika melangsungkan pernikahan, saya dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan. Tapi Alhamdulillah tidak berapa lama setelah menikah saya diterima bekerja di salah satu perusahaan perkebunan Sawit di tanah Riau dengan gaji yang cukup lumayan sehingga saya bisa menghidupi istri dan anak yang menjadi tanggungan saya. Ini mungkin yang disebut orang sebagai rezeki yang dibawa oleh istri dan anak.

Dan akhirnya saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT hingga saat ini saya dan keluarga saya senantiasa diberikan kesehatan, keselamatan dan rezeki yang cukup sehingga saya bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi istri dan anak saya dibandingkan dengan kehidupan saya pada saat saya kecil. Tapi yang jelas dan saya pahami sekali adalah bahwa Allah Maha Kuasa dan Dia tidak tidur, sehingga siapapun makhluknya yang ingin berubah harus berusaha dan Insya Allah usaha tersebut dibarengi dengan do’a akan memberikan hasil terbaik baginya.

Jangan mudah menyerah…. tetap semangat!!!

Pekanbaru, 14 Mei 2012 (diperbaharui)

4 tanggapan untuk “Kerasnya kehidupan…”

  1. jadi terinspirasi…saya perantau dipekanbaru juga,,,yang lagi dilema pengen menikah,,sementara pekerjaan mulai seret,,hehe

Tinggalkan komentar